Lokakarya Literasi Film Voila 2021 Hari 1, Kenali Film sebagai Media Penawaran

Lokakarya Literasi Film Voila 2021 Hari 1, Kenali Film sebagai Media Penawaran

Ini Dia Kontennya,

 

lokakarya literasi film voila 2021


Assalamualaikum Sahabat Lithaetr, mari masuki dunia lifestyle, parenting, inspirasi, dan hiburan (musik, film, buku, dan drama Korea).

Tulisan pertama di blog ini saya isi tentang pengalaman mengikuti lokakarya literasi film Voila hari pertama. Sebagai orang yang sukanya nonton, saya merasa perlu menambah wawasan tentang film, karena itu saya mendaftar agar bisa ikut serta di lokakarya tersebut.

Kira-kira apa saja yang kami pelajari di lokakarya literasi film Voila hari 1? Tetap lanjutin membacanya di sini, ya.

 

Mengenal lokakarya literasi film Voila 2021 (Lokakarya Voila 2021)

Sebelum saya membahas tentang apa saja sih, yang dibahas di hari pertama lokakarya literasi film Voila 2021 (lokakarya Voila 2021), ada baiknya kalau saya jelaskan sedikit tentang pelatihan ini terlebih dahulu.

Lokakarya Voila 2021 ini merupakan sarana belajar melihat film sebagai tawaran gagasan dengan bungkus audio dan visual, serta dapat merespon film secara kritis dan personal.

Pelatihan ini diselenggarakan oleh komunitas Ibu Profesional, khususnya forum Liga Film Keluarga yang bekerjasama dengan In-Docs. Yang mana lokakarya Voila 2021 ini hanya memberikan kesempatan kepada 30 peserta yang menjadi pendaftar pertamanya.

Oleh karena itu, saya merasa senang, beruntung, dan bersyukur bisa ikut serta di lokakarya Voila 2021 ini. Mari kita kenalan lebih dekat dengan penyelenggara lokakarya ini, Liga Film Keluarga ini adalah forum keluarga untuk ngobrol bareng budaya dan film yang anggotanya berasal dari anggota Ibu Profesional, masyarakat umum, dan praktisi-praktisi film.

Sementara In-Docs adalah lembaga non-profit yang berkomitmen untuk membangun budaya keterbukaan melalui film dokumenter. Di lokakarya literasi film Voila 2021 ini merekrut seorang wanita hebat yang berprofesi sebagai sutradara film bernama Ibu Amelia Hapsari. Beliau juga pernah menjadi juri dalam penghargaan film bergengsi seperti Oscar. Perempuan hebat inilah yang menjadi narasumber lokakarya Voila 2021.

narasumber lokakarya voila 2021

Begitulah perkenalan singkat tentang lokakarya Voila 2021 ini. Bisa menjadi bagian dari lokakarya yang istimewa, membuat saya ingin mendokumentasikan dan membagikannya lewat tulisan di blog, agar sahabat Lithaetr yang belum berkesempatan mengikutinya bisa mendapatkan gambaran tentang apa saja yang kami pelajari di sini.

Tentu saja hal ini sesuai dengan pesan yang selalu digaungkan oleh founder Ibu Profesional yaitu Ibu Septi Peni Wulandani, agar kita bisa terus memberikan manfaat kepada orang lain walaupun dengan sebuah tindakan yang sederhana.

 

Lokakarya literasi film Voila Hari 1, Kenali film sebagai media penawaran

Saya merasa semangat di hari pertama mengikuti lokakarya literasi film Voila 2021 ini. Apalagi yang dimaksud dengan literasi film itu adalah belajar mengenal film sebagai media penawaran, lalu bagaimana membaca tawaran dari film tersebut, dan bagaimana baiknya kita merespon film tersebut.

Sebuah pembelajaran baru bagi saya pribadi. Apalagi materi dan diskusi yang diberikan oleh narasumber keren yaitu Ibu Amelia Hapsari begitu luar biasa. Beliau membuka sesi materi dan diskusi dengan motivasi mengapa kita perlu membaca tawaran sebuah film dan bagaimana kita harus merespon tawaran tersebut.

materi hari 1 lokakarya voila 2021


Menurut beliau yang juga sebagai seorang ibu, perlunya orang tua mempunyai dasar literasi film itu karena orang tua bisa menjadi pembuka jendela bagi dunia anak-anaknya lewat tontonan yang mereka saksikan.

Dari film yang anak-anak nonton ini akan mendesain bagaimana nanti anak-anak akan memandang dunia, memandang tantangan apapun yang akan ia hadapi, dan memandang dirinya serta posisinya di dunia.

Begitu dahsyatnya efek atau dampak sebuah film bagi anak-anak, karena itu perlu banget orang tua memiliki literasi film yang baik. Di hari pertama lokakarya Voila 2021 ada beberapa film yang didiskusikan seperti Frozen II, Okja, Little Miss Sunshine, dan My Neighbor Totoro yang tokoh utamanya anak perempuan.

Untuk film yang tokoh utamanya laki-laki, Ibu Amelia Hapsari mengambil contoh film Transformers Age of Extinction, The Karate Kid, The Little Prince, dan Sekala Niskala.

Film-film tersebut kami diskusikan dengan mengenali film itu sebuah media penawaran. Yang mana dalam sebuah film ada sebuah tawaran pendapat, konsep, cara pandang, pernyataan atau pertanyaan untuk penonton yang diramu dalam sebuah karya layar lebar.

Karya layar lebar adalah sebuah cara bercerita yang dipilih, dirancang, dan dieksekusi oleh para pembuatnya melalui gambar dan suara dalam urutan tertentu, sehingga tawaran di dalamnya dapat direspon secara emosional atau intelektual.

Apa saja sih, yang ditawarkan oleh sebuah film? Dalam film bisa menelusuri kedalaman sebuah isu atau masalah atau realitas yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Kemudian film bisa memperkenalkan keberagaman yang ada di masyarakat.

materi lokakarya literasi film voila 2021 hari 1


Ibu Amelia Hapsari memberikan sedikit tips agar para penikmat film, seperti saya, bisa menganilisis atau membaca sebuah film. Caranya adalah,

1. Emosi apa saja yang saya rasakan ketika dan setelah menonton sebuah film

Di saat kita menonton sebuah adegan yang sedih, maka ketika itu juga kita ikutan sedih, betul? Begitu pun ketika ada adegan lucu, ketika itu juga kita tertawa melihat kejadian lucu tersebut.

Sementara emosi setelah menonton film tersebut adalah bagaimana kita menanggapi keseluruhan jalan cerita filmnya, apakah saya merasa suka atau senang atau malah tidak suka atau kecewa, dan lain sebagainya. Perasaan-perasaan yang timbul bisa kita catat, agar bisa dianalisis nantinya.

2. Bagaimana keseluruhan film mempengaruhi pikiran dan emosi saya

Poin nomor 2 ini adalah lanjutan dari emosi yang kita rasakan setelah menonton sebuah film. Kalau kita tidak suka dengan film itu mengapa kita tidak suka, apa saja yang membuat kita tidak suka dan lain sebagainya.

Begitu pun sebaliknya ketika kita suka dengan film tersebut, apa yang kita dapatkan dari film tersebut, adegan-adegan apa saja yang membuat kita terkesan, dan lain sebagainya.

3. Hal apa yang sengaja ditampilkan dan tidak ditampilkan dalam sebuah film

Ibu Amelia Hapsari mengambil contoh film The Karate Kid, yang mana menurut beliau film tersebut tidak cocok bagi anak di bawah usia 13 tahun. Mengapa? Sebab, yang ditampilkan dalam film tersebut adalah sosok anak laki-laki harus bisa mengatasi segala permasalahan yang dia hadapi sementara sosok anak perempuan digambarkan sebagai orang yang harus dilindungi.

Padahal dalam kenyataan tetap perlu sosok wanita itu juga harus bisa mengatasi masalahnya sendiri, perempuan dan laki-laki sebaiknya bisa bekerjasama dalam mengatasi sebuah permasalahan. Hal yang tidak ditampilkan dalam sebuah film inilah yang nantinya perlu didiskusikan lebih dalam dengan anak-anak.

Oleh sebab itu, The Karate Kid perlu ditonton oleh anak-anak yang sudah bisa diajak berdiskusi lebih kompleks, agar setelah menonton ada bahan diskusi lebih lanjut antara orang tua dan anak-anak.

Dari 3 tips di atas, saya belajar untuk perlu menyeleksi terlebih dahulu apa saja film yang boleh dikonsumsi oleh anak-anak saya, agar mereka bisa menerima pandangannya terhadap sesuatu sesuai dengan tahapan usianya.

Demikianlah sekilas dokumentasi saya terkait lokakarya literasi film Voila 2021 (lokakarya Voila 2021). Bagaima sahabat, penasaran bagaimana keseruan hari-hari lainnya? Simak saja nanti tulisannya di blog ini, ya.
trlitha11 (lithaetr)
Hai, saya IRT yang hobinya nulis dan senang berbagi ilmu. Ingin mengajak saya bekerjasama, silakan kirimkan saja email ke trlitha11@gmail.com atau whatsapp ke http://wa.me/628161977335

Related Posts

19 komentar

  1. Film memang bisa jadi mengkritisi dunia sosial yang ada di sekitar kita. Tentu menjadi sangat menarik. Namun tetap harus diperhatikan rating (kesesuaian usia penonton dengan drama).

    Semoga banyak film yang bisa menjadi teladan untuk keluarga Indonesia.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul kakak, dalam mengkritisi kita juga perlu melihat latar belakang budaya si pembuat cerita, karena pasti beda lokasi ada budaya yang berbeda.

      Semoga kedepannya semakin banyak lagi film Indonesia yang menginspirasi, aamiin

      Hapus
    2. Setuju nih dengan pendapat kak Lendy, sebisa mungkin memang dalam menciptkan film yang akan ditonton orang banyak (publik) sebaiknya lebih menekankan pada sisi kebermanfaatan, baik secara nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Sehingga film tidak hanya sebatas hiburan, tapi juga sebagai pemberi teladan/hikmah positif bagi si penonton.

      Hapus
    3. Semoga ke depannya semakin banyak film yang memiliki nilai-nilai kehidupan ya, mas.

      Hapus
  2. Memang ya ketika menonton film itu emosi kita seperti ikut hanyut dalam alur cerita yang disampaikan, kadang selesai nonton pun jadi aneh rasanya perasaan, hihi. Lokakarya literasi voila 2021 ini semoga makin membangkitkan semangat dunia perfilman ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin ya Rabbal'alamin. Semoga semakin menggeliatkan kami untuk mencoba berkarya, walaupun lewat literasi filmnya dulu

      Hapus
  3. Setuju banget bahwa film adalah salah satu media untuk mengedukasi
    Karena itu sebaiknya film menampilkan adegan-adegan yang mendidik terutama jika terkait dengan kehidupan sehari-hari
    Selayaknya film mengandung pesan moral yang dapat diteladani oleh penonton

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya kak Armi, setuju. Semoga ke depan semakin banyak film yang mengedukasi tapi tetap kreatif dan membuat penonton ikut berkembang dalam menyaksikan karyanya.

      Hapus
  4. Benar banget ya kak kalau setelah nonton film itu berpengaruh di emosi ya. Yah semoga film2 bisa mengedukasi juga tidak hanya untuk anak2 tapi untuk dewasa ya Aamiin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin... Terima kasih, Kak, sudah berkenan mampir dan meninggalkan jejak di sini.

      Hapus
  5. Bener nih mbak, jadi saat kita menonton emang seharusnya gak asal nonton saja tetapi juga bisa menganalisis sehingga bisa menemukan hikmah apa yang disampaikan film tersebut.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul mbak Dyah. Selain mengambil hikmah, kita bisa juga mengevaluasi apakah film tersebut bisa ditonton buat keluarga atau tidak

      Hapus
  6. Literasi film memang sangat penting. Suka tidak suka, film jadi salah satu tontonan anak dan mereka tu ga tahu kualitas film apalagi rambu-rambunya.
    Artikel ini bikin saya jadi merasa bersalah karea ga kepikiran tentang ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih mbak Susi sudah berkenan mampir ke blog saya ini

      Hapus
  7. Istriku ikut ibu profesional. Sering aku dengar program dan kegiatannya. Eh tapi yang ini aku belum dengar. Hehe . Sepertinya terlewatkan. Keren nih ibu profesional...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, mantap pak guru. salut selalu deh. Memang keluarga pembelajar ini.

      Hapus
  8. Film-film dokumenter Indonesia tuh banyak yang berkualita ya Mba Liet, tapi kadang heran kok peminatnya sedikit ya? Mungkin karena emang antimainstream dan gak umum.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul mbakku. Karena bukan selera pasar biasanya peminatnya enggak banyak. Kalau sudah bisa tembus pasar internasional, biasanya baru booming, hehehe

      Hapus

Posting Komentar