3 Bahaya yang Hantui Anak-anak, Jika Kecanduan Gadget

kecanduan gadget
3 Bahaya yang Hantui Anak-anak, Jika Kecanduan Gadget

Assalamualaikum sahabat lithaetr, mari masuki dunia parenting, inspirasi, dan hiburan (musik, film, buku, dan drama Korea).

Di ulasan sebelumnya, kita sudah mengetahui kalau anak-anak kekinian adalah generasi digital. Sekarang, saatnya orang tua mengetahui fakta-fakta kekinian yang terjadi di sekitar kita, khususnya bahaya yang hantui anak-anak, jika kecanduan gadget.

Pada umumnya, permasalahan yang terjadi saat ini di seluruh belahan dunia tidak jauh berbeda, termasuk di Indonesia. Barang-barang elektronik seperti televisi dan telepon seluler sudah bukan lagi barang langka atau mewah, sehingga hampir setiap keluarga memiliki dua barang tersebut. Bahkan tidak jarang, ada yang memiliki televisi dan telepon seluler lebih dari 1 buah.


Begitu pula dengan komputer atau laptop atau tablet, hampir setiap keluarga juga sudah mampu memilikinya, dan ada pula yang memiliki lebih dari 1 buah. Apalagi dengan dimudahkannya penggunaan internet, telah memungkinkan kaum muda untuk mengakses berbagai informasi dari berbagai platform media, dan bahkan sering kali bersifat portabel. Akibatnya, sering kali anak-anak muda lebih banyak menghabiskan waktu mereka dalam menggunakan beragam media tersebut daripada waktu yang mereka habiskan untuk aktivitas lainnya, kecuali untuk tidur.


Anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu dengan gadget, yaitu televisi, telepon seluler, komputer, laptop, dan tablet itu mungkin saja terjadi karena kesalahan orang tua. Tidak bisa dipungkiri, fenomena yang sering terjadi saat ini adalah masih banyak orang tua, yang lebih nyaman kalau anak-anaknya duduk diam dan hanya memperhatikan tontonan-tontonan atau bermain game dengan gadgetnya. Media-media elektronik tersebut dijadikan pelarian orang tua ketika anak-anaknya rewel, menangis, merajuk, dan sulit dikasih tahu. Lalu apakah yang akan terjadi bila orang tua terus menerus melakukan hal tersebut kepada anak? Selain 7 indikator permasalahan yang sudah disebutkan di artikel sebelumnya, ternyata ada 3 bahaya yang hantui anak-anak dan wajib menjadi perhatian orang tua, apakah itu? Simak terus pembahasannya di sini.

1] Mengalami gangguan jiwa

bahaya kecanduan gadget
Mengalami gangguan jiwa

Menurut berita okezone.com pada Oktober 2019 lalu, sudah ada 5 kasus kejiwaan anak karena kecanduan gadget. 5 kasus ini terjadi di kota-kota besar di Indonesia. Kasus pertama terjadi di Bekasi, ada 4 orang yang didiagnosa mengalami gangguan jiwa akibat terlalu banyak bermain gadget. Kemudian kasus yang kedua masih terjadi di daerah Jawa Barat, sejak 26 Oktober 2019, Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Jawa Barat (Jabar) merawat ratusan anak yang mengalami gangguan jiwa, akibat kecanduan gadget atau gawai.


Kasus ketiga terjadi di Solo, jumlah pasien anak-anak yang mengalami gangguan kejiwaan karena kecanduan gadget di RSJ Dr. Arif Zainudin terus bertambah. Lalu kasus keempat terjadi di Bogor, RSJ Marzuki Mahdi mencatat setidaknya menangani 10 sampai 15 anak yang kecanduan gadget pada tahun 2019. Rata-rata usia anak yang mengalami gangguan jiwa ada di kisaran 11 sampai 16 tahun. Kasus kelima terjadi di Semarang, seorang anak didiagnosa menderita gangguan jiwa akibat kecanduan game hingga harus mendapatkan perawatan di RSJ Amino Gondohutomo. Selain itu, ada 2 anak lainnya yang sedang menjalani terapi juga karena kecanduan game lewat telepon seluler atau tablet.

2] Terpapar Pornografi

pornografi
Terpapar pornografi

Masalah belum selesai sampai di situ. Sebuah judul berita online semakin membuktikan kalau pengaruh teknologi ini sangat berbahaya bagi anak-anak. Pada bulan Juli 2019 lalu, bangka.tribunnews.com, memberikan tajuk di beritanya ’97 Persen Anak Indonesia Usia 9-17 Tahun Sudah Terpapar Pornografi’. Jujur saja sebagai orang tua, khususnya ibu, penulis langsung merasa takut dan miris. Pertanyaan langsung muncul di benak, “Mau jadi apa penerus bangsa ini, jika di usianya yang masih belia sudah terpapar pornografi seperti itu?”


Judul tersebut ternyata diambil berdasarkan ungkapan fakta yang dikemukakan oleh Plt (Pejabat Sementara) Asisten Deputi Perlindungan Anak dalam Situasi Darurat dan Pornografi, Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak, Sumbono. Ia mengatakan, jika gambaran pornografi terhadap anak di Indonesia sudah sangat membahayakan. 97 persen anak-anak Indonesia di usia 9-17 tahun sudah terpapar dengan pornografi, dan itu pun adalah kasus yang terlapor. Sementara untuk kasus yang belum terlapor, entah sudah berapa banyak anak Indonesia yang terpapar bahayanya pornografi.


Sumbono juga memaparkan, kasus nyata itu terjadi di Kabupaten Tulungagung. Di sana ada seorang anak berusia 9 tahun sudah sakau akibat kecanduan pornografi, sehingga jika keinginannya untuk menonton pornografi tidak terpenuhi, si anak akan berguling-guling di lantai. Ternyata kasus-kasus seperti itu sudah banyak terjadi, sebuah data yang didapatkan oleh Bangka Pos melalui ‘Kerangka Acuan Kerja Workshop Membangun Sistem Perlindungan Anak dari Bahaya Pornografi Berbasis Desa atau Kelurahan Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Bangka Belitung. Di data tersebut tertulis, per September 2018, Komisi Perlindungan Anak (KPAI) menemukan ada 525 kasus pornografi dan kejahatan siber yang melibatkan anak-anak. Sementara pada tahun 2016, Menteri Pemberdayaan dan Perlindungan Anak, Yohana Yambise mengungkapkan, jika berdasarkan pantauan interpol Polri, dimana rata-rata setiap hari ada 25 ribu aktivitas di internet terkait pornografi anak, di wilayah Indonesia.


3] Kekerasan Seksual

kekerasan seksual
Kekerasan seksual

Pornografi merebak akibatnya kekerasan seksual pada anak pun meningkat. Hal tersebut diungkapkan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Dilansir dari detik.com (Juli 2019), LPSK mencatat adanya peningkatan permohonan perlindungan kekerasan seksual pada anak, bahkan jumlahnya melebihi tindak pidana lain. Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi Pasaribu menuturkan, “Dari hasil permohonan yang masuk, kasus kekerasan seksual yang situasinya paling mengkhawatirkan saat ini. Hampir tiap minggu, setidaknya ada 4 kasus kekerasan seksual yang kami putuskan (tangani). Angkanya dari 2016 sampai 2019 terus meningkat secara signifikan.”


LPSK mencatat ada peningkatan kasus kekerasan seksual pada anak yang terjadi sejak 2016 sejumlah 25 kasus, lalu pada 2017 meningkat menjadi 81 kasus, dan puncaknya terjadi pada 2018 menjadi 206 kasus. Selain itu, kenaikan juga terjadi pada permohonan perlindungan dan bantuan hukum tindak pidana kekerasan seksual pada anak. Pada tahun 2016, ada 35 korban, lalu pada 2017 meningkat menjadi 70 korban, kemudian pada 2018 meningkat lagi menjadi 149 korban, dan pada tahun 2019 sampai bulan Juni lalu, permohonan terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak telah mencapai 78 permohonan.


Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Salah satu faktornya yakni pengaruh digital. Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto mengucapkan, “Dalam sejumlah kasus, anak menjadi korban kekerasan seksual, karena pelaku terinspirasi dari konten pornografi yang ada di media sosial (medsos), internet, HP, dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa pengaruh dunia digital saat ini memang luar biasa.” Menurut Susanto meski Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) sudah melakukan pemblokiran konten pornografi, namun hal itu sulit diredam. Sehingga perlu upaya besar untuk menggerus konten pornografi di internet. Ia pun meminta kepada masyarakat, khususnya orang tua, untuk memperhatikan anak-anaknya. Peran orang tua dinilai penting untuk menjadi pilar proteksi dari pornografi.


Dari data-data di atas dan pemaparan yang sudah disampaikan oleh para ahli, kita bisa melihat, saat ini kejahatan yang paling banyak adalah kekerasan seksual, maka sudah tiba saatnya kalau Indonesia masuk suasana darurat kekerasan seksual pada anak. Adanya fakta-fakta tersebut sudah tidak bisa membuat orang tua untuk menutup mata dan hati, sebab kita juga harus berjuang menjaga masa depan anak-anak. Bagaimana mimpi dan cita-cita awal tadi ingin terwujud jika kita tidak mau berjuang menyelamatkan anak-anak dari tantangan di era digital ini. Memang kita tidak bisa mencegah, bahkan menghentikan perkembangan teknologi, namun orang tua perlu melakukan beberapa langkah agar anak-anak tidak menghabiskan waktu dengan bebas berselancar menggunakan teknologi, tanpa pengawasan. Ada baiknya kita menggunakan peribahasa, ‘Gunakan Payung Sebelum Hujan’, lebih baik mencegah sebelum terlambat. Sangat diperlukan interaksi dan kedekatan yang positif antara orang tua dan anak. Lebih baik anak-anak bermain bersama orang tuanya, daripada dia asyik dan menghabiskan waktu dengan gadget.


Ada 5 kerusakan yang terjadi pada otak, jika anak kecanduan gadget

dampak kecanduan gadget
Kerusakan otak karena kecanduan gadget

Melihat kasus-kasus di atas, maka wajar bila Indonesia menggaungkan program ‘Darurat Nasional Kejahatan Seksual Terhadap Anak’. Hal tersebut memang perlu dilakukan karena datanya sudah menunjukkan di ukuran yang sangat gawat, sebab bisa saja pornografi tersebut diselipkan pada iklan yang munculnya secara tiba-tiba. Hal ini pernah ditulis oleh seorang pakar parenting, Wina Risman (beliau adalah putrinya Ibu Elly Risman), ketika beliau dan anaknya yang berusia 7 tahun mendownload sebuah game, tiba-tiba muncul sebuah iklan yang mengandung konten pornografi. Tayangan iklan tersebut berdurasi 20 detik. Durasi itu yang sudah cukup lama bagi anak-anak menerima informasi ketika mereka menunggu agar bisa kembali ke permainannya. Oleh karena itu, ia menekankan kalau anak-anak kita memang disasar oleh bisnis ini secara luar biasa, karena mereka (pebisnis pornografi) berharap generasi berikutnya itulah yang akan menjadi pelanggan mereka seumur hidupnya. Sebab hal itu sudah dibuktikan secara sainstifik.


Beliau sering mengamati dan melihat, terutama pada game-game balita, ada iklan-iklan tidak senonoh yang sebesar thumbnail (kuku ibu jari) di atas layarnya, kecil sekali, dan dengan gambarnya yang tidak layak. Jika gambar tersebut dianggap mengganggu maka ada tanda ‘silang’ atau ‘x’ kecil yang bisa ditekan untuk menghapusnya. Cuma pertanyaan yang muncul adalah apakah tangan mungil anak balita kita, yang motorik halusnya belum sempurna akan mampu menekan tombol ‘x’ itu? Kemungkinannya tidak. Lalu kalau ia meleset menekannya, apa yang akan terjadi? Ya, sudah pasti iklan itu akan terbuka dan anak kita akan terpapar pornografi untuk pertama kalinya, di usianya yang masih balita. Itulah yang akan terjadi jika tidak ada pendampingan orang tua. Memang kerusakan apa saja sih yang terjadi jika anak terpapar pornografi?


Diambil dari sumber antaranews.com, pornografi akan merusak 5 bagian pada otak. Hal tersebut dikemukakan oleh seorang ahli psikologi bernama dra. Inge Hutagalung. Ia mengatakan, pornografi memiliki dampak negatif yang serius karena dapat merusak 5 bagian otak manusia terutama prefrontal cortex yang terletak pada bagian otak dekat tulang dahi dan otak logika. Akibatnya bagian otak yang bertanggung jawab untuk logika akan cacat, karena melakukan stimulasi berlebihan tanpa saringan lantaran otak hanya mencari kesenangan tanpa ada konsekuensi. Kerusakan bagian otak akibat pornografi itu akan mengakibatkan seseorang mudah kebosanan, merasa sendiri, marah, tertekan, dan lelah. Selain itu, dampak yang paling mengkhawatirkan adalah semakin mendekatnya anak-anak muda pada kehidupan permisif atau serba boleh dalam urusan seks. Adegan dalam tayangan dan bacaan akan memotivasi serta merangsang seseorang terutama kaum muda di Indonesia untuk meniru atau mempraktikkan hal yang dilihat atau dibaca.


Hal senada pun disampaikan oleh Psikolog Spesialis Pengasuhan Anak Ibu Elly Risman. Dirilis dari liputan6.com (11/08/2016), ia menyampaikan, penggunaan sosial media tanpa pengawasan orang tua akan berakibat anak terpapar pornografi dan gaya hidup yang tidak sehat, sehingga menyebabkan anak berpotensi menjadi korban maupun pelaku. Pornografi berdampak besar terhadap kerusakan otak sama seperti penyalahgunaan narkoba, karena keduanya menimbulkan efek kecanduan yang berlebihan. Proses kerusakan otaknya dimulai dari melihat pornografi, penasaran, kemudian adanya pelepasan dopamin dalam otak, kecanduan, tingkat pengetahuan seksual meningkat, dan kemudian berlanjut untuk melakukan.


Menurut dia, kerusakan tersebut bisa terjadi karena otak anak belum bersambungan, sehingga mereka cenderung meniru, dan ingin tahu terhadap hal-hal baru. Terdapat 3 bentuk kekerasan seksual yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Pertama, kekerasan seksual dengan kata-kata yang dimulai dari bicara, komentar, SMS, mengirim pesan atau mengajak melakukan kegiatan seksual melalui kata-kata. Kedua, perilaku seksual tanpa persetujuan seperti mengintip orang mandi, ganti baju dan lainnya, serta pemaksaan untuk melakukan kegiatan seksual dengan memaksa, mengancam orang lain, kekerasan dan kejahatan seksual pada anak laki-laki maupun perempuan. Ketiga, sudah berani melakukan modus kekerasan seksualnya secara terstruktur atau terpola.


Ibu Elly menegaskan, pelaku seksual saat ini bisa berasal dari semua kalangan. Mulai dari pelaku, anak-anak, remaja atau pun orang dewasa. Baik orang dekat atau dikenal maupun tidak dikenal oleh anak. Pelaku kejahatan dalam melakukan aksinya menggunakan strategi seperti membangun kedekatan, membujuk, dan mengancam. Bahkan perempuan pun, saat ini bisa menjadi pelaku dari kejahatan tersebut. Ia menyebutkan sepanjang tahun 2015, terdapat 3.971 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di seluruh Indonesia. Salah satunya, kasus kejahatan seksual yang terjadi di sekolah terdapat di 28 provinsi.


Beliau pun mengingatkan, yang terpenting dalam pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak melalui 7 pilar pengasuhan anak, seperti komunikasi yang baik, benar, dan menyenangkan. Kemudian tanamkan nilai agama yang kuat, menyiapkan masa balig anak, dan bijak dalam memanfaatkan teknologi. Orang tua harus tegas dalam mengawasi anak dalam menggunakan medsos.


Para ahli sudah menyuarakan pendapat mereka tentang ancaman berbahaya yang terjadi jika orang tua melepas kontrol terhadap anak-anak, khususnya dalam menggunakan teknologi. Ancaman besar benar-benar menghadang di depan mata, sudah saatnya kita (orang tua) bergandengan tangan dalam melindungi anak-anak. Apa yang bisa dilakukan oleh orang tua agar anak-anak bisa tumbuh menjadi orang yang tangguh, cerdas, mandiri, dan memiliki perilaku budi pekerti yang baik.




Bagi saya pribadi, salah satu kegiatan positif yang bisa dilakukan oleh orang tua adalah menumbuhkan minat membaca pada anak-anak. Sudah menjadi pengetahuan umum, kalau 'Buku adalah Jendela Dunia', bila anak-anak bisa bersahabat dengan buku, maka dunia akan dalam genggaman mereka. Kok bisa? Tetap ikutin terus, tulisan berikutnya di blog Lithaetr.
trlitha11 (lithaetr)
Hai, saya IRT yang hobinya nulis dan senang berbagi ilmu. Ingin mengajak saya bekerjasama, silakan kirimkan saja email ke trlitha11@gmail.com atau whatsapp ke http://wa.me/628161977335

Related Posts

10 komentar

  1. Hiyyy serem2 semua yaa Litha... yg horor2 semua itu, gangguan jiwa, pornografi dan kekerasan. Semoga anak2 kita gak sampe kena kecanduan gawai spt ini yaa. aamiin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin aamiin ya Rabbal'alamin. Semoga kita dimampukan memberikan pendidikan terbaik ya, bu dosen 🥰

      Hapus
  2. Waduh, serem semua dampak negatifnya ya, Bund.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Bun, serem semua. Semoga Allah Swt. melindungi anak-anak kita ya, aamiin 😊

      Hapus
  3. Sedih ya Mbak mengetahui kenyataan ttg bahaya gadget ini. Alhamdulillah anak2 ku gak kecanduan. Mudahan Allah melindungi anak2 kita ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin mbak Emmy. Iya, ini menjadi ketakutan yang sekaligus menjadi pengingat saya pribadi. Semoga kita selalu dimampukan memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak ya, mba 😍

      Hapus
  4. Balasan
    1. Kembali kasih Bun, sudah berkenan berkunjung 😊

      Hapus
  5. Astagfirullah... Semoga kita orang tua bisa membimbing anak dengan cara yang tepat ya mba... Perlu penguatan spiritual di rumah...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin aamiin ya Rabbal'alamin. Iya mbak, betul butuh kencangkan masalah spiritual, adab, dan sopan santun.

      Hapus

Posting Komentar